JAKARTA | Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan gugur terhadap permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sidang Pengucapan Ketetapan Nomor 220/PUU-XXIII/2025 ini dipimpin Ketua MK Suhartoyo bersama dengan hakim konstitusi lainnya pada Rabu (17/12/2025) dari Ruang Sidang Pleno, Gedung 1 MK.
Suhartoyo menyebutkan, Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan yang diajukan Ahmad Rizaldi. Terhadap permohonan ini, Mahkamah melalui juru panggil pada Senin, 24 November 2025 pukul 09.46 WIB telah menghubungi Pemohon melalui pesan singkat perihal kehadirannya dalam Sidang Pendahuluan, sekaligus memberitahukan Pemohon untuk hadir di ruang persidangan selambat-lambatya 30 menit sebelum sidang dimulai. Namun Pemohon menyatakan sedang berada di luar wilayah Republik Indonesia.
Selanjutnya pada pukul 10.02 WIB, Mahkamah melalui juru panggil menghubungi kembali mengenai kepastian kehadiran Pemohon secara daring. Walakin, Pemohon menyatakan tidak dapat mengikuti persidangan di Mahkamah, baik secara luring maupun daring karena Pemohon sedang bekerja dan berada di Brunai Darussalam. Hingga dibukanya persidangan pada Senin, 24 November 2025 pukul 14.10 WIB dengan agenda mendengarkan pokok-pokok permohonan Pemohon Nomor 220/PUU-XXIII/2025, Ketua Panel melakukan konfirmasi perihal Pemohon yang tidak hadir dalam persidangan.
Rapat Permusyawaratan Hakim pada 25 November 2025 telah berkesimpulan ketidakhadiran Pemohon pada Sidang Panel Pemeriksaan Pendahuluan tanpa alasan yang sah meskipun telah dipanggil secara sah dan patut, menunjukkan Pemohon tidak sungguh-sungguh dalam mengajukan permohonan a quo. Dengan demikian, permohonan Pemohon harus dinyatakan gugur dan oleh karenanya terhadap permohonan a quo Mahkamah mengeluarkan Ketetapan.
“Menyatakan permohonan Pemohon gugur,” ucap Ketua MK Suhartoyo mengucapkan Ketetapan Permohonan a quo.
Untuk diketahui, dalam Permohonan Nomor 220/PUU-XXIII/2025, Pemohon mempertanyakan independensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akibat penempatan penyidik dari instansi lain pada kelembagaannya. Dalam pandangan Pemohon, penempatan penyidik dari instansi lain menimbulkan potensi konflik kepentingan, yang berdampak pada tidak terpenuhinya asas equality before the law dan prinsip akuntabilitas publik. Akibatnya norma yang terdapat pada tersebut dinilai bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Lebih lanjut pada pokok-pokok permohonan, Pemohon menjelaskan penempatan pegawai KPK sebagai ASN di bawah eksekutif telah mengikis sifat independensi lembaga KPK
Padahal, Putusan MK Nomor 36/PUU-XV/2017 telah menegaskan bahwa KPK merupakan lembaga negara independen yang tidak termasuk dalam cabang kekuasaan eksekutif. Perubahan status ini, menurut Pemohon bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 tentang kekuasaan kehakiman yang bebas dari pengaruh kekuasaan lain. Sebab, KPK secara fungsional menjalankan fungsi yudikatif berupa penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
Selanjutnya, Pemohon juga mendalilkan terkait dengan ketentuan pada norma a quo mengenai penempatan anggota Polri dan Kejaksaan di KPK. Disebutkan bahwa ketentuan yang memperbolehkan penyidik dan penuntut dari Polri maupun Kejaksaan tersebut menimbulkan dualisme komando dan potensi benturan kepentingan. KPK seharusnya memiliki penyidik dan penyelidik dari kalangan sipil independen melalui rekrutmen nasional berbasis merit. Dengan demikian, menutut Pemohon, praktik penugasan dari institusi lain tidak sesuai dengan semangat Pasal 3 dan 4 UU KPK yang menegaskan KPK harus bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Oleh karenanya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan bahwa pasal-pasal dalam UU 19/2019 yang mengubah status pegawai KPK menjadi ASN; memberikan kewenangan Dewan Pengawas untuk memberikan izin penyadapan dan tindakan pro justitia; dan memungkinkan penugasan anggota Polri dan Kejaksaan di KPK adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Pemohon juga meminta agar Mahkamah menyatakan KPK merupakan lembaga negara independen di luar kekuasaan eksekutif, dengan pegawai yang bersumber dari rekrutmen sipil nasional berdasarkan prinsip merit dan integritas.
*Penulis : Sri Pujiastuti (Tim Humas MK)



