JATENG  

Refleksi Hari Santri 2025, Resolusi Jihad dan Tantangan Santri di Era Digital

Pemimpin Redaksi Media Siber Bromartani.com, Santri dari salah satu pesantren di Bojonegoro

Setiap tanggal 22 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Santri Nasional, sebuah momentum bersejarah yang tak lepas dari Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama (NU) tahun 1945. Pada tanggal itu, para ulama dengan tegas menyerukan kewajiban berjihad mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari ancaman penjajahan yang ingin kembali menancapkan kuku kekuasaan.

Seruan itu bukan sekadar panggilan perang, tetapi panggilan iman dan cinta tanah air. Dari pesantren-pesantren di Jawa Timur, ribuan santri dan kiai turun ke medan laga, mengorbankan nyawa demi kedaulatan bangsa. Maka benar bila dikatakan, kemerdekaan Indonesia bukan hanya hasil diplomasi dan senjata, tetapi juga hasil doa, keringat, dan darah para santri.

Delapan dekade telah berlalu sejak Resolusi Jihad dikumandangkan. Kini, wajah perjuangan santri berubah.

Musuh yang dihadapi bukan lagi kolonialisme bersenjata, melainkan kolonialisme gaya baru: kolonialisme informasi dan disinformasi.

Era digital telah membuka ruang luas bagi siapa pun untuk berbicara, tetapi juga bagi siapa pun untuk menyebar fitnah.

Nilai kebenaran kerap dikalahkan oleh kecepatan tayangan, dan etika jurnalistik kadang tenggelam di tengah kompetisi rating dan sensasi.

Beberapa waktu lalu, masyarakat santri di tanah air dikejutkan oleh sebuah tayangan televisi nasional yang memuat pemberitaan tentang pesantren, namun dengan cara yang menyudutkan dan tidak berimbang. Tayangan itu menimbulkan persepsi keliru, menodai citra lembaga pendidikan Islam yang selama ini menjadi benteng moral bangsa.

Sebagai seorang santri dan juga jurnalis, saya merasakan getirnya situasi itu. Di satu sisi, kita menghormati kebebasan pers sebagai bagian dari demokrasi. Namun di sisi lain, kita juga harus tegas menolak pemberitaan yang mengabaikan prinsip keadilan dan keberimbangan.

Pesantren bukan hanya lembaga pendidikan agama. Ia adalah pusat peradaban, tempat tumbuhnya karakter, moral, dan cinta tanah air. Maka ketika pesantren disudutkan tanpa data dan verifikasi yang memadai, itu bukan sekadar melukai institusi, tetapi melukai sejarah panjang pengabdian santri terhadap negeri.

Santri di era ini dituntut untuk tidak hanya pandai membaca kitab kuning, tetapi juga mampu membaca dinamika dunia digital.

Kemampuan literasi media, literasi data, dan literasi informasi menjadi kebutuhan mendesak.

Santri harus menjadi pelurus berita, bukan penyebar kabar burung.

Santri harus menjadi pembawa pencerahan di tengah gelapnya ruang digital, bukan penggemar provokasi atau adu domba.

Di sinilah letak jihad baru santri—jihad literasi dan jihad informasi. Jihad melawan hoaks, melawan fitnah, melawan manipulasi kebenaran.

Sebagaimana para pendahulu berjuang di Surabaya dengan bambu runcing, maka santri masa kini berjuang dengan pena, kamera, dan koneksi internet.

Pesantren perlu menyiapkan kader-kader santri yang mampu menjadi penulis, editor, penyiar, dan kreator konten yang beretika. Dunia digital tidak boleh dibiarkan dikuasai oleh pihak yang hanya mengejar sensasi tanpa nilai.

Santri harus mengambil peran itu—sebagai penjaga moral publik sekaligus penjaga narasi kebenaran.

Kini tiba saatnya kita menafsir ulang semangat Resolusi Jihad menjadi Resolusi Literasi.

Jika dahulu para kiai menyerukan jihad untuk mempertahankan tanah air dari penjajahan fisik, maka hari ini santri harus menyerukan jihad untuk mempertahankan kemerdekaan berpikir dan kejernihan informasi.

Resolusi Literasi berarti berjuang untuk menghadirkan media yang bermartabat, pemberitaan yang berimbang, serta ruang digital yang mendidik. Ini adalah bentuk pengabdian santri di era teknologi—pengabdian yang tidak kalah mulia dari perjuangan bersenjata masa lalu.

Sebagai insan pers yang lahir dari rahim pesantren, saya meyakini bahwa jurnalisme yang baik dan pesantren yang kuat sesungguhnya memiliki semangat yang sama: mencari kebenaran dan menegakkan keadilan.

Pers yang adil dan pesantren yang independen adalah dua tiang penyangga moral bangsa. Keduanya saling melengkapi, saling mengingatkan. Pers tanpa etika akan melahirkan fitnah. Pesantren tanpa literasi media akan mudah disalahpahami.
Karena itu, santri harus hadir di antara keduanya—menjembatani dunia pesantren dan dunia media.

Hari Santri Nasional tahun 2025 ini semestinya menjadi momentum introspeksi: bagaimana kita sebagai bangsa menghargai peran santri, bukan hanya di masa perjuangan, tetapi juga dalam menjaga moral dan akal sehat bangsa di era informasi.(red).