transjabar_ PURWAKARTA – Budayawan Jawa Barat Dedi Mulyadi mengungkap perbedaan antara penikmat wayang. Di tanah jawa, terdapat dua jenis wayang sebagai buah kultur kehidupan masyarakat. Kedua jenis wayang tersebut merupakan simbol dari karakter manusia dalam sebuah peradaban.
Wayang golek berasal dari Jawa Barat dan wayang kulit yang berasal dari Jawa Timur dan Jawa Tengah. Penikmat kedua wayang tersebut memiliki kekhasan tersendiri.
Menurut Dedi, perbedaan itu terletak pada cara menikmatinya. Masyarakat di Jawa Timur dan Jawa Tengah menikmati pertunjukan wayang kulit sampai pada aspek filosofisnya. Mereka melakukan pemaknaan mendalam terhadap lakon yang tersaji.
“Fase dalam lakon itu mereka maknai. Ada kontemplasi terhadap nilai dan makna yang mereka dapatkan. Sehingga, pola perilaku masyarakat jawa kita ketahui sangat kultural. Orang sering bilang istilah jawani. Karena itu, karakter jawanya dijiwai,” kata Dedi di sela Acara Festival Dalang Tingkat Nasional.
Kegiatan tersebut digelar di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, pada Sabtu (22/9/2018).
Sementara di Jawa Barat, lanjut Dedi, penikmat wayang golek hanya menunggu momen tawa atau keriuhan lakon. Misalnya, saat terjadi perkelahian antar tokoh wayang atau saat tokoh Astrajingga/Cepot muncul mengocok perut.
“Kalau ramai, baru antusias. Kalau sedang cerita falsafah hidup, jatuhnya ngantuk,” ujarnya.
Atas dasar tersebut, Ketua Tim Pemenangan Jokowi-Ma’ruf di Jawa Barat itu meminta perubahan formula pertunjukan wayang. Caranya, durasi pertunjukan diperpendek dan waktu mulainya acara dipercepat.
Biasanya, pertunjukan wayang golek di Jawa Barat dimulai pada Pukul 22.00 WIB sampai dengan Pukul 03.00 WIB dini hari. Menurut Dedi, seharusnya pertunjukan tersebut dimulai Pukul 20.00 WIB dan berakhir tengah malam.
“Saya sering katakan dalam berbagai kesempatan, harus ada formula baru. Cerita dan kakawen wayangnya diperpendek saja. Tetapi, di dalamnya tetap menyajikan alur yang padat nilai dan falsafah,” tuturnya.
Spirit Persatuan
Biaya untuk menggelar pertunjukan wayang golek maupun wayang kulit memang terhitung mahal. Akan tetapi menurut Dedi, biaya tersebut masih relevan karena nilai-nilai yang didapat dari pertunjukan wayang juga penting.
Dia mencontohkan nilai persatuan dan kemanusiaan yang selalu disajikan para dalang dalam setiap pertunjukan. Selain itu, nilai religi juga turut mengemuka sebagai bahan renungan bagi para penikmatnya.
“Ada banyak nilai yang bisa direfleksi dalam setiap pertunjukan. Saya kira kalau agak sedikut diubah dengan spirit zaman now, wayang bisa tetap ada di hati masyarakat nusantara,” katanya.
Putera kedua Dedi Mulyadi, Yudhistira Manunggaling Rahmaning Hurip turut ambil bagian dalam festival tersebut. Remaja yang akrab disapa De Tira itu membawakan lakon berjudul “Kumbakarna Gugur”.
Lakon tersebut bercerita tentang pengorbanan seorang ksatria demi tegaknya sebuah negara dari berbagai rongrongan kepentingan. (ctr).